Saya Hasan Efendi mengucapkan Terima kasih sudah berkenan tengok-tengok blog sederhana ini, kritik dan saran kalian sangat membantu perkembangan blog sederhana ini. Contact : HP/WA >> 0896-3554-9224[Tree]

Celengan Syukur Reni

13199079791306999097
Reni mengamat-amati celengan ayam milik Bagas. Bentuk dan warnanya bagus. Celengan ayam jago berbulu hitam itu mirip ayam sungguhan menurutnya. Tak hanya dia, teman-teman sekelasnya pun ramai memuji celengan ayam itu. Membuat wajah sang pemilik merona merah karena bangga.

Bagas mengguncang-guncang si celengan ayam. Koin-koin di dalamnya berbenturan gaduh. Baru seminggu Ibu Wanda menyuruh mereka menabung, tapi suara celengan Bagas sudah bergemuruh.

Tugas menabung ini bukan pekerjaan yang mudah bagi anak-anak SD kelas 5 seperti mereka. Sebab mereka harus menyisihkan uang jajan untuk dimasukkan ke dalam celengan. Di akhir bulan, tabungannya dihitung lalu disumbangkan ke panti asuhan.

Menabung bagi anak-anak SD berarti mengurangi jatah jajan. Tapi ini dilakukan demi Ibu Wanda, sang guru favorit, dan demi menolong anak-anak sebaya yang tidak seberuntung mereka. Bagas dan teman-temannya semakin hari semakin bersemangat menabung. Mereka bahkan berandai-andai yang paling banyak menyumbang nanti akan diberi nilai paling tinggi dalam mata pelajaran PPKn.

Bila Bagas tampak bangga dengan celengannya yang indah dan penuh berisi, Reni justru berusaha menyembunyikan celengannya. Miliknya tak seindah punya Bagas atau teman-teman yang lain. Pun tak berisi banyak uang. Celengan dari bekas kaleng susu itu sampai hari ini kosong melompong.
***

Akhir bulan tiba. Semua murid di kelas 5A SD Berdikari sibuk merapikan meja. Buku PPKn, alat tulis dan celengan bertengger di atas meja setiap anak. Semuanya tampak semangat saat Ibu Wanda meminta mereka membongkar celengan dan menghitung isinya, sementara ia berkeliling dari meja ke meja.
Saat tiba di meja Reni, ia merasa heran. Di meja anak buruh cuci itu berhamburan sejumlah uang receh dan kertas-kertas kecil yang dilipat. Itu kertas yang dirobek dari majalah dan lembaran koran yang tidak berjejak tinta.

“Apa ini, Reni?” tanya Ibu Wanda sambil memegang beberapa lipatan kertas yang dikeluarkan Reni dari celengan bekas kaleng susunya.
“Ini sumbangan saya buat anak-anak panti asuhan, Bu. Uangnya tidak banyak, tapi sumbangan saya bukan cuma uang.”
Ibu Wanda heran. Reni mengambil sebuah kertas yang setengah terbuka di atas meja. Dia membaca tulisannya.
“Ini Reni. Hari ini tumben Emak masak sup ceker ayam, rasanya enak sekali. Aku kenyang. Kalian sudah makan? Jangan lupa bersyukur ya.”
Reni mengambil kertas lainnya.

“Ini Reni lagi. Hari ini aku dikasih boneka bekas oleh tetanggaku. Walau bekas, tapi bonekanya masih bagus. Kamu punya mainan apa? Jangan lupa bersyukur ya,” katanya.

Ibu Wanda luar biasa heran melihat anak muridnya yang satu ini. Keheranan itu menular dan membuat anak-anak lainnya menoleh. Beberapa di antara mereka berkerumun di meja Reni. Semua mata tertuju pada Reni, meminta penjelasan.

“Saya nggak punya banyak uang buat disumbang, Bu,” ucap Reni seperti mau menangis, “Tapi saya tetap ingin nyumbang. Jadi saya nyumbang rasa syukur saya. Maaf ya, Bu, celengan syukur ini bikin malu ya?”
Hati Ibu Wanda terenyuh. Ia segera meraih anak itu ke pelukannya dan berkata, “Tidak sayang. Justru celengan syukur ini bisa mengajarkan mereka untuk selalu bersyukur setiap harinya, Reni. Jangan merasa malu, Ibu bangga padamu, Nak.”

Teman-teman Reni pun bertepuk tangan dan bersorak.
“Wah, Reni nanti dapat nilai paling tinggi nih. Jangan sedih ya, Gas,” kata Siska meledek Bagas.
Bagas menatap celengan ayamnya yang sudah pecah berhamburan. Bibirnya mengerucut, matanya menyipit kesal.

“Tahu begitu aku pakai kaleng susu saja!”
source : http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/10/30/celengan-syukur-reni/

0 komentar:

Silahkan isi komentar..!