Reni mengamat-amati celengan ayam milik Bagas.
Bentuk dan warnanya bagus. Celengan ayam jago berbulu hitam itu mirip
ayam sungguhan menurutnya. Tak hanya dia, teman-teman sekelasnya pun
ramai memuji celengan ayam itu. Membuat wajah sang pemilik merona merah
karena bangga.
Bagas mengguncang-guncang si celengan ayam.
Koin-koin di dalamnya berbenturan gaduh. Baru seminggu Ibu Wanda
menyuruh mereka menabung, tapi suara celengan Bagas sudah bergemuruh.
Tugas menabung ini bukan pekerjaan yang mudah bagi
anak-anak SD kelas 5 seperti mereka. Sebab mereka harus menyisihkan uang
jajan untuk dimasukkan ke dalam celengan. Di akhir bulan, tabungannya
dihitung lalu disumbangkan ke panti asuhan.
Menabung bagi anak-anak SD berarti mengurangi jatah
jajan. Tapi ini dilakukan demi Ibu Wanda, sang guru favorit, dan demi
menolong anak-anak sebaya yang tidak seberuntung mereka. Bagas dan
teman-temannya semakin hari semakin bersemangat menabung. Mereka bahkan
berandai-andai yang paling banyak menyumbang nanti akan diberi nilai
paling tinggi dalam mata pelajaran PPKn.
Bila Bagas tampak bangga dengan celengannya yang
indah dan penuh berisi, Reni justru berusaha menyembunyikan celengannya.
Miliknya tak seindah punya Bagas atau teman-teman yang lain. Pun tak
berisi banyak uang. Celengan dari bekas kaleng susu itu sampai hari ini
kosong melompong.
***
Akhir bulan tiba. Semua murid di kelas 5A SD
Berdikari sibuk merapikan meja. Buku PPKn, alat tulis dan celengan
bertengger di atas meja setiap anak. Semuanya tampak semangat saat Ibu
Wanda meminta mereka membongkar celengan dan menghitung isinya,
sementara ia berkeliling dari meja ke meja.
Saat tiba di meja Reni, ia merasa heran. Di meja
anak buruh cuci itu berhamburan sejumlah uang receh dan kertas-kertas
kecil yang dilipat. Itu kertas yang dirobek dari majalah dan lembaran
koran yang tidak berjejak tinta.
“Apa ini, Reni?” tanya Ibu Wanda sambil memegang
beberapa lipatan kertas yang dikeluarkan Reni dari celengan bekas kaleng
susunya.
“Ini sumbangan saya buat anak-anak panti asuhan, Bu. Uangnya tidak banyak, tapi sumbangan saya bukan cuma uang.”
Ibu Wanda heran. Reni mengambil sebuah kertas yang setengah terbuka di atas meja. Dia membaca tulisannya.
“Ini Reni. Hari ini tumben Emak masak sup ceker
ayam, rasanya enak sekali. Aku kenyang. Kalian sudah makan? Jangan lupa
bersyukur ya.”
Reni mengambil kertas lainnya.
“Ini Reni lagi. Hari ini aku dikasih boneka bekas
oleh tetanggaku. Walau bekas, tapi bonekanya masih bagus. Kamu punya
mainan apa? Jangan lupa bersyukur ya,” katanya.
Ibu Wanda luar biasa heran melihat anak muridnya
yang satu ini. Keheranan itu menular dan membuat anak-anak lainnya
menoleh. Beberapa di antara mereka berkerumun di meja Reni. Semua mata
tertuju pada Reni, meminta penjelasan.
“Saya nggak punya banyak uang buat disumbang, Bu,”
ucap Reni seperti mau menangis, “Tapi saya tetap ingin nyumbang. Jadi
saya nyumbang rasa syukur saya. Maaf ya, Bu, celengan syukur ini bikin
malu ya?”
Hati Ibu Wanda terenyuh. Ia segera meraih anak itu
ke pelukannya dan berkata, “Tidak sayang. Justru celengan syukur ini
bisa mengajarkan mereka untuk selalu bersyukur setiap harinya, Reni.
Jangan merasa malu, Ibu bangga padamu, Nak.”
Teman-teman Reni pun bertepuk tangan dan bersorak.
“Wah, Reni nanti dapat nilai paling tinggi nih. Jangan sedih ya, Gas,” kata Siska meledek Bagas.
Bagas menatap celengan ayamnya yang sudah pecah berhamburan. Bibirnya mengerucut, matanya menyipit kesal.
“Tahu begitu aku pakai kaleng susu saja!”
source : http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/10/30/celengan-syukur-reni/
0 komentar:
Silahkan isi komentar..!